Umat Islam meyakini Alquran adalah
mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw. Sebagai kitab suci, Alquran diyakiniakan
senantiasa selaras dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan setiap tempat (salih
li kulli zaman wa makan). Demikian juga dengan kemukjizatan Alquran mestinya
juga tak lekang oleh zaman.
Pada awal perkembangan Islam, aspek
kemukjizatan Alquran dinilai darikeindahan bahasa dan ketinggian sastranya.
Maklum, Alquran turun pada bangsa Arab yang saat itu sedang gandrung dengan
kefasihan bahasanya. Alquran berhasil membuat bangsa Arab takjub dengan
keindahan bahasa dan sastranya yang tidak mampu mereka tandingi.
Kajian kemukjizatan bahasa Alquran
telah melahirkan sebuah cabang ilmu dalam rumpun ‘Ulumul Qur’an yang disebut
dengan I’jaz al-Qur’an atau ‘Ilm al-I’jaz. Namun demikian, mukjizat Alquran
dari sisi keindahan bahasanya ini hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang
fasih dan ahli bahasa Arab.Barangkali, sekarang ini sudah hampir tidak ada lagi
orang yang masuk Islam karena terpesona dengan sastra Alquran. Karena itu,
mukjizat kebahasaan ini hanya bersifat temporal dan lokal.
Selanjutnya, kemukjizatan Al-Quran
dipahami dengan munculnya teori seorang tokoh Muktazilah, Ibrahim an-Nazzam
(775-845 M).Ia mengajukan teori Ikhbar bil-Ghaib,yaitu kemukjizatan Alquran
dari sisi informasi hal-hal gaib yang terkandung di dalamnya. Misalnya,
informasi Alquran tentang kehidupan akhirat, surga, dan neraka. Termasuk dalam
teori ini adalah prediksi Alquran tentang kejadian-kejadian di masa yang akan
datang. Sejarah telah banyak membuktikan kebenaran prediksi Alquran, seperti
kekalahan bangsa Romawi yang disebut dalam Surat ar-Rum.
Teori ini semakin diperkuat dengan
temuan-temuan sains yang mengkonfirmasi kebenaran ayat-ayat Alquran secara
ilmiah. Dari sini berkembanglah yang namanya I’jaz Ilmi, yaitu kemukjizatan
Alquran dari segi ilmu pengetahuan dan sains. Misalnya,penemuantubuh Fir’aun(Pharaoh)oleh
para arkeolog yang telah diinformasikan dalam QS. Yunus: 92,"Maka pada
hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi
orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia
lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.”
Namun begitu, teori Ikhbar bil-Ghaibdan
I’jaz Ilmijuga bersifat temporal. Artinya, pada saat prediksi atau informasi
sains itu terbukti, maka bersamaan dengan itu kemukjizatannya juga selesai.
Karena itu tetap diperlukan sebuah teori kemukjizatan yang bersifat universal.
Di sinilah penulis ingin mengajukan teori Iqra’ sebagai mukjizat Alquran
terbesar sekaligus universal. Kata Iqra’ (Bacalah!) yang merupakan wahyu
pertama yang turun kepada Nabi Muhammad, hemat penulis, adalah mukjizat
terbesar Alquran yang bisa dipakai oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun.
Ayat “iqra’ bismi rabbika” memberikan
3 pedoman utama kehidupan. Pertama, iqra’adalah ilmuyang akan menjadi sains dan
teknologi. Siapa pun yang dapat menguasai ini, dia yang mampu menguasai dunia.
Kedua, kata rabbartinya Tuhan yang universal. Belum disebut Allah. Di sini
Alquran masih bersifat hudan lin-nas, belum hudan lil-muttaqien. Ketiga, khalaq,
yaitu alam semesta.
Jadi kalau mau berhasil di dunia ini,
harus menguasai tiga hal tersebut: Ilmu, Tuhan, dan Alam. Baru setelah itu
dipertegas, Alquran tidak hanya sebagai hudan lin-nastapi juga hudan
lil-muttaqien. Umat Islam yang diprioritaskan sebagai al-Muttaqun, tetapi tidak
membaca, maka dia akan kalah di dunia ini. Orang yang tidak beragama sekalipun,
tetapi membaca, maka ia akan mengungguli yang lain. Inilah mukjizat yang
berlaku sepanjang masa.
Oleh: Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, M.A.,
Ph.D.
(Rektor UIN SunanKalijaga Yogyakarta
No comments:
Post a Comment